al barkasi

SUGENG RAWUH ing AL BARKASI

Selasa, 23 April 2013

ASWAJA.asyariyah


ASY’ARIYAH - MATURIDIYAH
Makalah disusun guna memenuhi tugas
mata kuliah Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Drs. Amir Ghufron, M. Ag.




                                                                                                                                                                                                                                                                                           
Disusun oleh :

-          MIFTAHUS SURUR
-          MIN KHOIRIYAH
-          MISBAHUL MUNIR
-          MUADHOM
-          MUALIFAH
-          M. MASYHAR



INSTITUT ISLAM NAHDLATUL ULAMA’
(INISNU) JEPARA
TAHUN 2010

KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puja dan puji syukur selalu tercurahkan ke hadirat Allah SWT, karena taufiq dan hidayah-Nya kami diberi kekuatan dan dimudahkan jalan kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Sholawat beserta salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada beliau junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarganya dan para sahabatnya. Dan semoga kita menjadi ummat yang kelak mendapat syafa’at fiddunya hattal akhirat.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam dengan dosen pengampu Drs. Amir Ghufron, M. Ag. Karena kami hanya manusia biasa, tentu banyak kekurangan dan kekhilafan dalam penulisan makalah ini. Dengan itu harapan kami, pembaca mau menanggapi dan memberi saran untuk kesempurnaan tugas-tugas seterusnya.
Besar harapan kami semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin Ya Robbal ‘Alamin..

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.



Jepara,      Juni 2010

Penyusun

DAFTAR  ISI


KATA PENGANTAR           …………………………………………….   i
DAFTAR ISI                          …………………………………………….   ii
BAB    I           PENDAHULUAN     …………………………………….   1
BAB    II         AL ASY’ARIYAH    …………………………………….   2
A.  Sejarah Lahirnya Asy’ariyah         …………………………………….   2
B.  Al Asy’ari dan Ajaran-ajarannya  …………………………………….   3
C.  Madzhab Asy’ariyah Sepeninggal Al Asy’ari       …………………….   5
1.  Abu Bakar Al Baqillani     …………………………………….   5
2.  Al Juwaini                          …………………………………….   5
3.  Al Gozali                            …………………………………….   6
BAB    III        AL MATURIDIYAH            …………………………………….   8
A.  Sejarah Lahirnya Al Maturidiyah …………………………………….   8
B.  Al Maturidi dan Pokok-pokok ajarannya              …………………….   9
C.  Golongan Maturidiyah dan Tokoh-tokohnya       …………………….   10
1.  Golongan Samarkand        …………………………………….   10
a.  Al Maturidi                        …………………………………….   10
b.  Al Bayadi               …………………………………….   11
2.  Golongan Bukhara             …………………………………….   11
BAB    IV        KESIMPULAN          …………………………………….   12


BAB  I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Karena banyaknya kekerasan terhadap fuqoha’ dan ahli hadits yang dilakukan Mu’tazilah, juga karena banyaknya ketidak cocokan ajaran-ajaran aliran Mu’tazilah, muncul aliran baru yaitu Asy’ariyah dan Maturidiyah. Kedua aliran ini sangat menentang ajaran Mu’tazilah tentang Ketuhanan, Sifat-sifat Allah, Perbuatan manusia, Pelaku dosa besar, Keadilan Tuhan dan lain-lain yang sangat bersandar pada kekuatan rasio, sedang kedua aliran ini lebih bersandar pada dalil nas (AlQur’an dan Hadits).
Asy’ariyah dan Maturidiyah dengan alirannya sanga eksis sampai sekarang, karena kedua aliran ini mempunyai satu tujuan yang sama dan saling menyempurnakan yang ajarannya digantungkan pada dalil nas (AlQur’an dan Hadits) dijadikan qiblat golongan Aswaja, yang mempunyai arti “Masyarakat yang memegang teguh ajaran Nabi dan pemegang tradisi Nabi dan kesatuan ummat”.

B.      Pokok Bahasan

1.      Asy’ariyah
§  Sejarah lahirnya
§  Pokok ajarannya
§  Tokoh-tokohnya

2.      Maturidiyah
§  Sejarah lahirnya
§  Pokok ajarannya
§  Tokoh-tokohnya

BAB  II
AL – ASY’ARIYAH

A.      Sejarah Lahirnya Asy’ariyah
Pada abad III H, sebagai kebijaksanaan Khalifah Al Ma’mun yang mewajibkan Mu’tazilah memperkenalkan sebuah tes tentang keimanan, timbullah suatu reaksi yang kuat terhadap “rasionalis” kaum Mu’tazilah.[1] Pengikut-pengikut aliran hadits dan yuris prodensi (Fuqoha’) khususnya pengikut Imam Ahmad ibnu Hambal dengan keras melawan semua bukti-bukti rasional tentang ajaran keimanan Mu’tazilah.
Penentang ulama ahli hadits dan fuqoha’ terhadap ahli (ro’yi) Mu’tazilah ada yang bersembunyi dalam keyakinannya dan ada yang menentang keras dengan keberanian dalam masa pemerintahan Al Ma’mun yang berkeyakinan Mu’tazilah memaksakan ulama-ulama lain sepaham dengan dia. Seperti “i’tikad bahwa Qur’an itu makhluk, atau hadits tidak boleh meyakini qodim sama dengan dzat Tuhan”. Dan itu sangat ditentang Ibnu Hambal yang mengatakan : “Kalamullah itu Qodim”. [2]
Untunglah pada akhir abad III H, lahir dua orang yang dapat menyelesaikan pertengkaran hebat yaitu Abul Hasan Al Asy’ari, lahir di Basrah tahun 260 H / 330 H. dan Abu Masyhur al Maturidi, yang lahir di Samarkandi. Al Asy’ari orang yang mengikuti paham madzhab Mu’tazilah dan pernah belajar ilmu kalam pada Abu Ali al Jaba’i, tapi kemudian pada umur 40 tahun, ia berbalik melawan ajaran-ajaran Mu’tazilah dan kembali pada ajaran AlQur’an murni dengan beberapa sebab.
1.      Perpisahan dengan gurunya karena terjadi dialog dengan gurunya tentang “keadilan Tuhan”.
2.      Al Asy’ari pernah bermimpi melihat Rasulullah sebanyak tiga kali pada bulan Romadlon.
3.      Diriwayatkan sebelum Al Asy’ari mengambil keputusan keluar dari Mu’tazilah, ia mengurung diri di rumahnya selama 15 hari.
4.      Karena rasa ketidak percayaannya lagi terhadap kemampuan akal. [3]
Sehingga pada hari Jum’at ia keluar menuju masjid jamik di Basrah naik ke atas mimbar lalu berkata, “Wahai manusia, barang siapa di antara kamu yang kenal saya, ia sudah mengenal saya. Tetapi barang siapa tidak mengenal saya, saya adalah Abul Hasan Al Asy’ari yang dahulu mempertahankan bahwa AlQur’an itu makhluk baru, dan Allah tidak melihat dengan mata, dan perbuatan jahat itu saya sendiri yang mengerjakannya bukan dengan qodlo’ dan qodar. Oh saya menyesal saya menjadi Mu’tazilah. Saya meninggalkan aliran ini dan saya berjanji menolak aliran ini dan menghapus pertumbuhan dan kejahatan mereka. [4]

B.      Al Asy’ari dan Ajaran-ajarannya
1.      Sifat-sifat Allah
Menurut ajaran Asy’ariyah, Allah mempunyai sifat-sifat sebagaimana disebut dalam AlQur’an, seperti Allah mengetahui dengan ilmu, berkuasa dengan qodlo’ qodar. Artinya bahwa segala yang terjadi di muka bumi, entah kebaikan dan keburukan adalah karena qodlo’ dan qodar Allah.
Firman Allah :
@è% Hw à7Î=øBr& ÓŤøÿuZÏ9 $YèøÿtR Ÿwur #ŽŸÑ žwÎ) $tB uä!$x© ª!$#
“Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah.”
( Q.S. Al A’raf : 188 )

Dan Al Asy’ari mengakui tentang adanya Allah, Malaikat, para Rasul. Allah Maha Esa tempat tegrantung segala sesuatu, tidak ada Tuhan selain Dia, tidak butuh pendamping, dan tidak beranak, maha melihat dan mengetahui segalanya. [5] 
2.      Perbuatan Manusia
Perbuatan manusia menurut Al Asy’ariyah adalah diciptakan Tuhan, bukan diciptakan manusia sendiri. Untuk mewujudkan suatu perbuatan manusia membutuhkan dua daya yaitu daya Tuhan dan daya manusia. Hubungan antara perbuatan manusia dengan kehendak Tuhan yang mutlak dijelaskan melalui teori kasab yakni berbarengnya kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Al Kasb mengandung arti keaktifan, karena itu manusia bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. [6] 
3.      Pelaku Dosa Besar
Menurut Al Asy’ari, seorang muslim yang melakukan dosa besar dan meninggal dunia sebelum sempat bertaubat, tetap dihukumi mukmin, tidak kafir dan tidak pula di antara mukmin dan kafir. Dan di akhirat ada beberapa kemungkinan :
§  Ia mendapat ampunan dari allah dengan rahmatNya sehingga dimasukkan dalam surga.
§  Ia mendapat syafa’at dari Nabi Muhammad SAW.
§  Allah memberi hukuman kepadanya dengan dimasukkan ke dalam neraka sesuai dengan dosa yang dilakukannya kemudian dimasukkan ke dalam surga.
4.      Keadilan Tuhan
Pendapat Al Asy’ari bahwa Tuhan tidak punya kewajiban apapun, Tuhan tidak wajib memasukkan manusia ke dalam surga maupun neraka. Semua itu merupakan kehendak mutlak Tuhan, sebab Tuhan yang berkuasa dan segala-galanya milik Allah. Jika Tuhan memasukkan seluruh manusia ke neraka, bukan berarti Ia zalim. Tuhan adalah penguasa mutlak dan tidak ada yang lebih kuasa. Ia dapat dan boleh melakukan apa saja yang dikehendakiNya.
Ini adalah pokok-pokok Asy’ari. Untuk mengetahui lebih luas dapat diperoleh dalam buku-buku karyanya, diantaranya Maqolatul Islamiyin wa Ikhtilaful Mushollin, Al Ibanah, Al Luma, dan lain-lain. [7]

C.      Madzhab Asy’ariyah Sepeninggal Al Asy’ari
1.      Abu Bakar al Baqillani ( 338 – 403 H )
Abu Bakar al Baqillani adalah ulama besar. Dia dilahirkan di Basrah pada tahun 338 H, dan wafat di Baghdad pada tahun 403 H. Apabila alAsy’ari pengikut madzhab Syafi’i, maka alBaqillani pengikut madzhab Maliki. Sebagai ulama besar yang menyaring berbagai kajian yang pernah dilakukan Al Asy’ari, ia berbicara tentang premise-premisi dalil rasional tentang tauhid dan membicarakan jauhar-fard (atom), aradh (aksidom) dan cara-cara pembuktian (istidlal).
Menurut al Baqillani, ala mini merupakan himpunan dari atom-atom yakni himpunan bagian-bagian yang tidak dapat dibagi lagi. Benda-benda materi adalah atom. Atom itu baru, apabila dibubuhi Tuhan dengan ardh. Atom dan ardh itu diciptakan dan dimusnahkan oleh Tuhan. Atom dan benda materi tidak mungkin berwujud lebih satu. Waktu (detik) perubahan ardh itu tidak sendirinya tetapi karena kehendak Tuhan. Tuhan boleh saja merubah sunnah yang menguasai jalannya alam. Di sinilah terjadi mukjizat yang diartikan sebagai penyimpangan dari sunnatullah. Pengingkaran adanya hukum kausalitas ini. [8]
2.      Al Juwaini
Al Juwaini adalah tokoh Al Asy’ariyah yang pernah mengajar dan menetap di Makah dan Madinah. Lahir di Naisabur pada tahun 419 H, dan meninggal pada tahun 478 H. dan dia mempunyai sebutan “Imam Al Haromain”. Ia adalah teologi Islam dalam bidang fiqh yang ikut madzhab Syafi’i.
Al Juwaini tak sepenuhnya mengkaji Asy’ariyah, karena Tuhan menurutnya adalah wujud (materi), maka ia perlu mentakwilkan ayat-ayat tasybih seperti yang dilakukan kaum Mu’tazilah. Imam Juwaini berpendapat bahwa yang dimaksud tangan Tuhan diartikan kekuasaan, mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan. Wajah Tuhan diartikan wujud Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi. [9]  Lebih lanjut al Juwaini berpendapat bahwa daya yang ada pada manusia itu punya efek. Efeknya itu serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan akibat. Terwujudnya suatu perbuatan tergantung pula pada sebab lain, dan wujud sebab ini tergantung pada sebab lain lagi dan begitulah seterusnya, sehingga rangkaian sebab itu berakhir pada sebab segala sebab yakni kepada Tuhan. Paham seperti ini dinilai oleh Ahmad Amin sebagai kembali pada ajaran Mu’tazilah (hukum kausalitas) melalui jalan yang berlekok-lekok.
3.      Al Gozali
Imam al Gozali adalah tokoh Asy’ariyah terbesar pengaruhnya di dunia Islam. Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad al Gozali, lahir di kota Thus pada th 450 H. dan meninggal di sana pada 505 H. Al Gozali tampil setelah al Baqillani. Pada hakikatnya al Gozali tidak mengikuti Al Asy’ari dan al Maturidi. Ia bahkan melakukan pengkajian secara liberal dan intensif tidak seperti pengkajian orang-orang yang bertaklid. Hanya saja argumennya sependapat dengan Asy’ariyah dalam berbagai kesimpulan yang mereka hasilkan. Tetapi ia juga berbeda pendapat dengan mereka dalam berbagai hal yang mereka pandang wajib. Itulah sebabnya banyak di antara pendukung Asy’ariyah menuduhnya kafir dan penganut paham zindiq. [10]
Dari banyaknya karangan al Gozali yang paling menonjol adalah “Ihya’ Ulumuddin”, yakni di dalamnya terkandung bagian terbesar dari pandangannya dan dapat dirasakan usahanya memadukan tasawuf yang moderat (ahlaki) dengan teologi, fiqh dan etika. Al Gozali juga mengemukakan sepuluh dalil tentang perbuatan Tuhan, yang disimpulkan sebagai berikut :
1.      Segala sesuatu yang baru termasuk semua makhluk dan perbuatannya diciptakan Tuhan. DIAlah yang menciptakan kemampuan dan geraknya.
2.      Gerakan dan perbuatan manusia sebagai perbuatan Tuhan, bukan tindakan manusia yang disebut “Kasab” atau usaha.
3.      Perbuatan manusia sebagai usahanya tidaklah terlepas dari kehendak Tuhan. Dari Tuhanlah asal segala yang baik dan yang buruk, yang berguna dan tidak, Islam dan kufur, taat dan durhaka.
4.      Tuhan tidaklah wajib menciptakan alam dan menurunkan agama yang di dalamnya mengandung kemaslahatan manusia, sehingga tidak mungkin ia jadi sasaran kewajiban dan keharusan. Tuhan yang menyuruh melarang dan yang mewajibkan.
5.      Tuhan sebenarnya mampu mewajibkan manusia untuk melakukan kewajibannya yang ia sendiri tidak akan mampu.
6.      Tuhan dapat menyiksa hambaNya yang tidak berdosa, karena Dia yang bertindak dalam kerajaanNya.
7.      Tuhan dapat apa yang dikehendaki terhadap hambaNya, sehingga Ia tidak wajib menjamin kemaslahatan yang lebih baik terhadap hambaNya.
8.      Mengetahui dan mentaati Tuhan adalah wajib atas manusia berdasarkan syariat (agama), bukan dasar rasio (akal).
9.      Tuhan mengutus para Nabi ke hadapan manusia bukanlah hal yang tidak mustahil, karena akal saja tidak mampu memperlihatkan jenis-jenis amal yang bermanfaat di akhirat.
10.  Tuhan mengutus Nabi Muhammad sebagai Rasul penutup dan bertugas untuk menghapus agama-agama sebelumnya.


BAB  III
AL – MATURIDIYAH

A.      Sejarah Lahirnya Al Maturidiyah
Pada masa Mu’tazilah mendapat kemarahan masyarakat sebagai balasan perilakunya terhadap para fuqoha’ dan muhadditsin yakni pada sepertiga pertama abad III H, dan bersamaan lahrnya Asy’ariyah lahir pula aliran Maturidiyah yang dinisbatkan pada tokohnya yang bernama Abu Mansur Muhammad ibnu Muhammad ibnu Mahmud al Maturidi. Lahir di Maturidi, sebuah daerah di Samarkand dan wafat pada tahun 333 H. ia belajar fiqh Hanafi dan ilmu kalam pada Nasir ibn Yahya al Balkhi (wafat 268 H.). Maturidi ini mempunyai paham teologi yang berbeda dari Mu’tazilah dan juga Asy’ariyah. [11]
Negeri Samarkand merupakan tempat diskusi ilmu fiqh dan ushul fiqh yang berlangsung di antara pendukung Hanafiyah dan pendukung madzhab Syafi’iyah. Ketika perselisihan antara fuqoha’, muhadditsin dan Mu’tazilah semakin sengit, diskusi berjalan di bidang ilmu kalam, ilmu fiqh dan ushul fiqh. Al Maturidi hidup di tengah-tengah perlombaan yang berlangsung ketat dalam rangka menghasilkan pemikiran dan penalaran. Abu Mansur al Maturidi dan Abu Hasan al Asy’ari hidup dalam satu masa dan mempunyai tujuan memberantas pertumbuhan Mu’tazilah, hanya saja al Asy’ari hidup dalam lingkungan pertumbuhan Mu’tazilah langsung yaitu di Irak dan Basrah. Adapun Abu Mansur berada di Samarkand tempat yang jauh dari pusat perselisihan. Kendati begitu keduanya mempunyai perbedaan dalam pemikiran dan kesimpulan yang dicapai oleh kedua Imam ini. Karena al Maturidi di dalam  metodenya memberikan otoritas yang besar pada rasio (akal manusia) yang dibarengi petunjuk syara’, sedang al Asy’ari terikat pada dalil naqli (nas) dan menguatkannya dengan dalil aqli (nalar). Sehingga salah seorang peneliti nyaris beranggapan bahwa Asy’ariyah berada dalam suatu garis antara Mu’tazilah dan kelompok fuqoha’ bersama muhadditsin, sedang Maturidiyah berada dalam garis antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah. [12]

B.      Al Maturidi  dan Pokok-pokok Ajarannya
1.      Kewajiban mengetahui Tuhan . akal semata-mata mengetahui Tuhan, namun ia tidak sanggup sendirinya hukum-hukum taklifi (perintah-perintah Allah) itulah pendapat al Maturidi bahwa dengan akal manusia mampu mengetahui adanya Tuhan dan mengetahui kewajibannya untuk mengetahui dan berterima kasih pada Tuhan. Percaya pada Tuhan dan berterima kasih kepadaNya, sebelum adanya wahyu adalah wajib karena Tuhan adalah pemberi nikmat terbesar.
2.      Kebaikan dan keburukan dapat diketahhui dengan akal, artinya akal mengetahui sifat buruk dalam perbuatan baik dan mengetahui sifat buruk dalam perbuatan buruk. Pengertian inilah yang menyebabkan akal berpendapat bahwa masih ada perintah dan larangan.
3.      Hikmah dan tujuan perbuatan Tuhan.
Perbuatan Tuhan mengandung kebijaksanaan (hikmah) baik dalam ciptaanNya maupun dalam perintah dan laranganNya. Perbuatan manusia bukanlah paksaan dari Allah karena itu tidak bisa dikatakan wajib, karena kewajiban itu mengandung suatu perlawanan dengan irodahNya. [13]
Mengenai tanggapan al Maturidi tentang :
a.       Sifat Allah
Ketika Asy’ariyah menetapkan bahwa sifat-sifat Allah itu sesuatu yang di luar dzat dan menetapkan juga adanya qodrat, irodah, hayah, sama’, basor, mak al Maturidi mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukan sesuatu di luar dzatNya, bukan pula sifat-sifat yang berdiri pada dzatNya, dan tidak pula pisah dari dzatNya. Sifat-sifat tersebut tidak mempunyai eksistensi yang mandiri dari dzat. Sehingga tidak dapat dikatakan bahwa banyaknya sifat-sifat itu akan membawa banyaknya yang qodim (kekal).
b.      Melihat Allah
Berdasarkan ayat AlQur’an :
×nqã_ãr 7Í´tBöqtƒ îouŽÅÑ$¯R ÇËËÈ 4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari kiamat berseri-seri kepada Tuhannya mereka melihat.”
Berdasarkan firman tersebut, al Maturidi sebagaimana al Asy’ari menetapkan bahwa Allah dapat dilihat pada hari kiamat, dan pendapat ini tidak sama dengan apa yang dipaparkan Mu’tazilah. Karena melihat butuh suatu tempat, sedang Allah tidak bertempat maka kita tidak dapat melihat Allah.
c.       Pelaku dosa besar
Sesungguhnya kesepakatan ulama, orang mukmin tidak akan kekal di neraka. Hanya saja pandangan tentang mukmin berbeda-beda. Menurut Khawarij orang yang melakukan dosa besar dan kecil dianggap kafir. Menurut Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak diakui sebagai mukmin, sekalipun dia masih muslim. Kelihatannya Khawarij dan Mu’tazilah memasukkan amal sebagai salah satu komponen iman. Sedangkan Asy’ariyah dan Maturidiyah mengatakan amal termasuk salah satu dari komponennya. Oleh karena itu orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari iman, sekalipun amalnya akan dihisab dan ia akan mendapat siksa dan siksaan itu berdasarkan besar dan kecilnya dosa yang dilakukannya. [14]

C.      Golongan Maturidiyah  dan Tokoh-tokohnya
1.      Golongan Samarkand
a.       Al Maturidi
Imam Maturidi dan Asy’ari terdapat kesamaan pandangan. Menurut Maturidi, Tuhan mempunyai sifat-sifat. Tuhan mengetahui bukan dengan dzatNya, melainkan dengan pengetahuanNya. Begitu juga Tuhan berkuasa bukan dengan dzatNya.
Maturidi menolak paham-paham Mu’tazilah antara lain soal :
1)      Tidak sepaham mengenai pendapat Mu’tazilah yang mengatakan AlQur’an itu makhluk
2)      Al Salah wa Al Aslah
3)      Paham posisi mengenai kaum Mu’tazilah. [15]
b.      Al Bayadi
Ia adalah tokoh Maturidiyah cabang Samarkand. Seperti halnya pendapat Maturidi, ia menegaskan bahwa mengetahui Tuhan adalah wajib menurut akal naluri, karena yang dapat diketahui akal adalah untuk mengetahui kewajiban dan yang menentukan kewajiban adalah Tuhan. [16]
2.      Golongan Bukhara
Golongan Bukhara dipimpin Abu al Yurs Muhammad al Bazdawi. Dia merupakan pengikut Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek al Bazdawi menjadi salah satu murid Maturidi. Dari orang tuanya, al Bazdawi menerima ajaran-ajaran Maturidi, dan ia mempunyai seorang murid yaitu Najm al Din Muhammad al Nasafi, dengan karangannya Al Aqoidul Nasafiyah.
Aliran Maturidiyah al Bazdawi mempunyai pendapat lebih dekat pada Asy’ariyah. Dan ia tidak selamanya sepaham dengan al Maturidi. Ajaran-ajaran teologinya banyak dianut oleh sebagian ummat yang bermadzhab Hanafi.



BAB  IV
KESIMPULAN

A.      Asy’ariyah
Sejarah lahirnya Asy’ariyah dinisbatkan pada Imam Al Asy’ari yang keluar dari penganut Mu’tazilah, yang menjadi murid Ali al Jubba’i yang menjadi pembesar Mu’tazilah. karena ketidak cocokan Asy’ari dengan pendapat-pendapat al Jubbai, al Asy’ari mendirikan teologi Islam sendiri yang dikenal Asy’ariyah.
§  Pokok ajaran-ajarannya
a.       Allah mempunyai sifat Qodrah, Irodah, Hayat, Sama’, Basor
b.      Segala perbuatan manusia diciptakan dan diatur oleh Tuhan, tidak dari manusia sendiri
c.       Pelaku dosa besar disiksa di neraka setimpal dengan dosa yang dilakukannya. Bisa juga mendapat ampunan Allah dan syfa’at dari Nabi Muhammad SAW.
d.      Mengenai keadilan Tuhan, Tuhan mempunyai kehendak yang mutlak, karena Tuhan yang berkuasa dan segala-galanya milik Tuhan.
§  Tokoh-tokoh Asy’ariyah
a.       Al Baqillani
b.      Al Juwaini
c.       Al Gozali

B.      Maturidiyah
Sejarah lahirnya Maturidiyah sama halnya sebab yang dijadikan Asy’ariyah keluar dari Mu’tazilah. Hanya saja Asy’ariyah berada di Basrah yang dekat langsung dengan Mu’tazilah, sedang al Maturidi berada di Samarkand yang jauh dari Mu’tazilah.
§  Pokok ajaran Maturidiyah
a.       Akal dapat digunakan untuk mengetahui Tuhan
b.      Kebaikan dan keburukan dapat diketahui dengan akal
c.       Hikmah dan tujuan perbuatan Tuhan bukan merupakan paksaan pada manusia.
§  Tokoh-tokoh Maturidiyah
a.       Golongan Samarkand
1.      Al Maturidi
2.      Al Bayadi
b.      Golongan Bukhara
1.      Al Bazdawi dan muridnya
2.      Al Nasafi



DAFTAR PUSTAKA



DAFTAR PUSTAKA


1.      Prof. DR Seyyed Hossain Nasr, Intelektual Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996
2.      Drs. H. Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 1998
3.      Imam Baihaqi, Kontroversi Aswaja Aula Perdebatan Reinterprestasi, LKIS, Yogyakarta, 2000,
4.      Prof. Dr. Imam Muhammad Abu Zahroh, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Logos Publishing House, Jakarta, 1996, hal : 194
5.      Drs. Amir Ghufron, M.Ag. Ringkasan Teologi Islam




 

ASY’ARIYAH - MATURIDIYAH
Makalah disusun guna memenuhi tugas
mata kuliah Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Drs. Amir Ghufron, M. Ag.










                                                                                                                                                                                                                                                                                           
Disusun oleh :

-          MIFTAHUS SURUR
-          MIN KHOIRIYAH
-          MISBAHUL MUNIR
-          MUADHOM
-          MUALIFAH
-          M. MASYHAR



INSTITUT ISLAM NAHDLATUL ULAMA’
(INISNU) JEPARA
TAHUN 2010



[1] Prof. Dr. Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hal : 10
[2] Drs. H. Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 1998, hal : 173
[3] Imam Baihaqi, Kontroversi Aswaja Aula Perdebatan Reinterprestasi, LKIS, Yogyakarta, 2000,
   hal : 62 - 63
[4] Prof. Dr. Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam, hal : 11
[5] Prof. Dr. Imam Muhammad Abu Zahroh, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Logos   
   Publishing House, Jakarta, 1996, hal : 194
[6] Drs. H. Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, hal : 180
[7] Drs. H. Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, hal : 181
[8] Drs. Amir Ghufron, M.Ag. Ringkasan Teologi Islam, hal : 57
[9]  Drs. Amir Ghufron, M.Ag. Ringkasan Teologi Islam, hal : 58
[10] Prof. Dr. Imam Muhammad Abu Zahroh, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, hal : 204
[11] Drs. Amir Ghufron, M.Ag. Ringkasan Teologi Islam, hal : 64
[12] Prof. Dr. Imam Muhammad Abu Zahroh, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, hal : 210
[13] Drs. H. Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, hal : 190
[14] Prof. Dr. Imam Muhammad Abu Zahroh, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, hal : 218
[15] Drs. H. Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, hal : 190
[16] Drs. Amir Ghufron, M.Ag. Ringkasan Teologi Islam, hal : 67

Tidak ada komentar:

Posting Komentar