al barkasi

SUGENG RAWUH ing AL BARKASI

Minggu, 21 September 2014

Lailatul Ijtima’


Lailatul Ijtima’
Bagi Orang NU, menyelenggarakan pertemuan tiap bualan itu biasa. Pertemuan itu dinamakan Lailatul Ijtima’. Lailah artinya malam, dan ijtima’ artinya pertemuan. Artinya sebuah ”pertemuan malam" yang diselenggarakan di setiap bulan.

Awalnya ini adalah kebiasaan para kiai yang akhirnya menjadi kebiasaan orang-orang NU atau pengurus NU. Acara ini dimanfaatkan untuk membahas, memecahkan dan mencarikan solusi atas problem organisasi, mulai masalah iuran, menghadapi Ramadlan, Tarawih, menentukan awal Ramadlan, sampai menjalar ke masalah-masalah umat yang berat.

Lailatul Ijtima’ ini adalat ditemui mulai dari tingkat pengurus ranting (desa), tingkat majelis wakil cabang (kecamatan), tingkat cabang (kabupaten/kota), tingkat wilayah (provinsi), sampai pengurus besar.

Salah satu pembukaan dalam Lailatul Ijtima’ ini biasanya adalah pembacaan tahlil yang menjadi ciri khas orang NU, mengirim doa kepada arwah orang tua, para guru, semua kaum muslimin dan muslimat, khususnya para sesepuh pendiri NU yang telah wafat.

Pertemuan semacam ini berdasar pada, pertama:
وَفِي رِوَايَةِ البُخَارِي وَمُسْلِمٍ وَالتُّرْمُذِي وَالنَّسَائِي قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اَلدُّعَاءُ مُسْتَجَابٌ عِنْدَ اجْتِمَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ. وَفِيْ رِوَايَةٍ الدُّعَاءُ مُسْتَجَابٌ فِيْ مَجَالِسِ الذِّكْرِ وَعِنْدَ خَتْمِ الْقُرْآنِ. كَذَا فِيْ الْحِصْنِ الْحَصِيْنِ

Dari riwayat Bukhori, Muslim, Turmudzi, dan Nasa’i, Rasulullah SAW bersabda: Doa mustajab (dikabulkan) itu ketika berkumpulnya kaum muslimin. Di sebuah riwayat lain disebutkan: Doa mustajab itu ada di majels dzikir dan khataman Al-Qur-an. Demikian seperti dumuat dalam kitab Al-Hisnul Hasin. (Khozinatul Asror, hlm 140)

Dalil kedua:
وَالْحَقُّ أنَّ اْلمُؤْمِنَ إِذاَ اشْتَغَلَ فِيْ تِلْكَ الَّيْلَةِ الْخَاصَّتِ بِأّنْوَاءِ الْعِبَادَةِ مِنَ الصَّلَاتِ وَالتِّلَاوَةِ وَالذِّكْرِ وَالدُّعَاءِ يَجُوْزُ وَلَا يُكْرَهُ

Orang-orang mukmin jika menyelenggarakan malam yang khas itu dan mengisinya dengan berbagai kegiatan seperti shalat, membaca Al-Qur’an, dzikir, dan doa, hukumnya boleh-boleh saja, tidak makruh. (Durratun Nasihin, Hlm 204)


Dalil ketiga,
اَلْعِبَادَةُ هُوَ فِعْلُ الْمُكَلَّفِ عَلَى خِلَافِ هَوَى نَفْسِهِ تَعْظِيْمًا لِرَبِّهِ

Ibadah adalah pekerjaan mukallaf melawan hawa nafsu demi mengagungkan asma Allah. (At-Ta’rifat lis Sayyid Ali bin Muhammad al-Jurjani, hlm. 128)

KH Munawir Abdul Fattah
Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.
Tulisan ini dimuat di salah satu buku penulis tentang "Tradisi Orang-orang NU”

Sejarah Ahlussunnah wal Jama’ah



Oleh : MUADHOM
PC. IPNU Kab. Demak 2013/2014
Sebenarnya sistem pemahaman Islam menurut Ahlussunnah wal Jama’ah hanya merupakan kelangsungan desain yang dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur-rasyidin. Namun sistem ini kemudian menonjol setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah pada abad ke II H.
Seorang Ulama’ besar bernama Al-Imam Al-Bashry dari golongan At-Tabi’in di Bashrah mempunyai sebuah majlis ta’lim, tempat mengembangkan dan memancarkan ilmu Islam. Beliau wafat tahun 110 H. Diantara murid beliau, bernama Washil bin Atha’. Ia adalah salah seorang murid yang pandai dan fasih dalam bahasa Arab.
Pada suatu ketika timbul masalah antara guru dan murid, tentang seorang mu’min yang melakukan dosa besar. Pertanyaan yang diajukannya, apakah dia masih tetap mu’min atau tidak? Jawaban Al-Imam Hasan Al-Bashry, “Dia tetap mu’min selama ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi dia fasik dengan perbuatan maksiatnya.” Keterangan ini berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits karena Al-Imam Hasan Al-Bashry mempergunakan dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil Qur’an dan Hadits.
Dalil yang dimaksud, sebagai berikut; pertama, dalam surat An-Nisa’: 48;
اِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُاَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُمَادُوْنَ ذلِكَ ِلمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِافْتَرَى اِثْمًاعَظِيْمًا (النساء : 48.
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa seseorang yang berbuat syirik, tetapi Allah mengampuni dosa selian itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang mempersekutukan Tuhan ia telah membuat dosa yang sangat besar.”
Kedua, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
عَنْ اَبِى ذَرٍ رَضِىَاللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتِانِى اتٍ مِنْ رَبىِ فَأَخْبَرَنِى اَنَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ اُمَّتِى لاَيُشْرِكُ بِاللهِ دَخَلَ اْلجَنَّةَ. قُلْتُ: وَاِنْ زَنىَ وَاِنْ شَرَقَ. قَالَ وَاِنْ زَنىَ وَاِنْ سَرَقَ رواه البخارى ومسلم.
Dari shahabat Abu Dzarrin berkata; Rasulullah SAW bersabda: Datang kepadaku pesuruh Allah menyampaikan kepadamu. Barang siapa yang mati dari umatku sedang ia tidak mempersekutukan Allah maka ia akan masuk surga, lalu saya (Abu Dzarrin) berkata; walaupun ia pernah berzina dan mencuri ? berkata (Rasul) : meskipun ia telah berzina dan mencuri.” (Diriwayatkan Bukhari dan Muslim).
فَيَقُوْلُ وَعِزَّتِى وَجَللاَ لِى وَكِبْرِيَانِى وَعَظَمَتِى لأَُخْرِجَنَّ مِنْهَا مَنْ قَالَ لاَاِلهَ اِلاَّ اللهُ. رواه البخارى.
Allah berfirman: Demi kegagahanku dan kebesaranku dan demi ketinggian serta keagunganku, benar akan aku keluarkan dari neraka orang yang mengucapkan; Tiada Tuhan selain Allah.”
Tetapi, jawaban gurunya tersebut, ditanggapi berbeda oleh muridnya, Washil bin Atha’. Menurut Washil, orang mu’min yang melakukan dosa besar itu sudah bukan mu’min lagi. Sebab menurut pandangannya, “bagaimana mungkin, seorang mu’min melakukan dosa besar? Jika melakukan dosa besar, berarti iman yang ada padanya itu iman dusta.”
Kemudian, dalam perkembangan berikutnya, sang murid tersebut dikucilkan oleh gurunya. Hingga ke pojok masjid dan dipisah dari jama’ahnya. Karena peristiwa demikian itu Washil disebut mu’tazilah, yakni orang yang diasingkan. Adapun beberapa teman yang bergabung bersama Washil bin Atha’, antara lain bernama Amr bin Ubaid.
Selanjutnya, mereka memproklamirkan kelompoknya dengan sebutan Mu’tazilah. Kelompok ini, ternyata dalam cara berfikirnya, juga dipengaruhi oleh ilmu dan falsafat Yunani. Sehingga, terkadang mereka terlalu berani menafsirkan Al-Qur’an sejalan dengan akalnya. Kelompok semacam ini, dalam sejarahnya terpecah menjadi golongan-golongan yang tidak terhitung karena tiap-tiap mereka mempunyai pandangan sendiri-sendiri. Bahkan, diantara mereka ada yang terlalu ekstrim, berani menolak Al-Qur’an dan Assunnah, bila bertentangan dengan pertimabangan akalnya.
Semenjak itulah maka para ulama’ yang mengutamakan dalil al-Qur’an dan Hadits namun tetap menghargai akal pikiran mulai memasyarakatkan cara dan sistem mereka di dalam memahami agama. Kelompok ini kemudian disebut kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah. Sebenarnya pola pemikiran model terakhir ini hanya merupakan kelangsungan dari sistem pemahaman agama yang telah berlaku semenjak Rasulullah SAW dan para shahabatnya.
 

DASAR AMALIYAH NAHDLIYIN


DASAR AMALIYAH NAHDLIYIN


DASAR MASALAH GARIS PERBATASAN AMALIYAH
WARGA NAHDLIYIN
Oleh:
MUADHOM. PC.IPNU Kab. DEMAK


Sejarah Nahdlatu Ulama (NU) lahir dari keprihatinan dan tanggung jawab keislaman yang terjadi di dunia. Dimana, setiap tradisi dan kearifan lokal yang dianggap menghalangi modernitas harus dibasmi dan dilenyapkan dari muka bumi. Masyarakat yang konsisten dalam mejaga dan memelihara tradisi dianggap kolot, tidak rasional dan anti kemajuan. kenyataannya, ketika gerakan Islam puritanisme Wahabi yang tidak henti-hentinya mempersoalkan tradisi keagamaan maka umat Islam nusantara yang mendasarkan kerangka keagamaannya pada tradisi berupaya untuk “mengentalkan identitasnya”. Puncaknya adalah munculnya Komite Hijaz dan berujung pada pembentukan wadah oraganisasi Nahdlotoel Oelama pada 16 Rajab 1344 H / bertepatan dengan 31 Januari 1926 M. yang bertujuan untuk mengimbangi gerakan kaum reformis yang seringkali tidak meperhatikan tradisi-tradisi yang sudah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat
Jadi, sejarah organisasi NU terbentuk karena dilatarbelakangai oleh dua faktor dominan; pertama, adanya kekhawatiran dari sebagian umat Islam nusantara yang berbasis pesantren terhadap gerakan kaum modernis yang meminggirkan mereka. Kedua, sebagai respons ulama-ulama berbasis pesantren terhadap pertarungan ideologis yang terjadi di dunia Islam pasca penghapusan kekhilafahan Turki Utsmani, munculnya gagasan Pan-Islamisme yang dipelopori oleh Jamaluddin Al Afghani dan gerakan kaum Wahabi di Hijaz.
Ada definisi resmi tentang Nahdlatul Ulama yang dituangkan dalam Qanun Asasi dan ditegaskan lagi dalam keputusan Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama di Surabaya pada tahun 2006 yang disebut Fikrah Nahdliyah, bahwa NU adalah kerangka berpikir yang didasarkan pada ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah untuk menentukan arah perjuangan dalam rangka ishlahul ummah (perbaikan umat). Manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah tercermin dalam tiga hal: 1. dalam bidang aqidah/teologi, Nahdlatul Ulam mengikuti manhaj dan pemikiran Abu Hasan al Asy’ari dan Abu Mansur al Maturidi;
2. dalam bidang fiqh/hukum Islam, NU bermazhab secara qawli dan manhaji kepada salah satu mazhab yang empat. Yaitu hanafi, madzhab imam abu hanifah yang lahir di Kufah, Irak 80 H dan meninggal pada tahun 150 H. (2) maliki, yaitu madzhab imam malik bin anas yang lahir di Madinah pada 90 H dan meninggal tahun 179 H. (3) Syafi’i, yaitu madzhab imam Syafi’I yang lahir di Ghazzah pada 150 H dan meninggal pada 204 H. (4) Hanbali yaitu madzhab imam Ahmad bin Hanbal yang lahir di Marwaz tahun 164 H dan meninggal tahun 241 H; 3. Dalam bidang Tasawwuf, Nahdlatul Ulama mengikuti Imam al Junaid al Baghdadi (w.297H.) dan Abu Hamid al Ghazali (450-505 H./1058-1111 M.)

Aswaja
Ahlussunnah waljama’ ala NU (Aswaja) adalah pemahaman yang berusaha kembali kepada Islam sebagaimana dipraktikkan oleh para sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’it-tabi’in. Syaikh Abi Al fadl bin Abdusysyakur mendefinisikan Ahlussunnah wal jama’ah:
أَََهْلُ السُّنَّةِ وَالجَمَاعَةِ الَّذِيْنَ لاَزِمُوْا سُنَّةَ النَّبِيِّ وَطَرِيْقَةَ الصَّحَابَةِ فِيْ العَقَائِدِ الدِّيْنِيَّةِ وَالأَعْمَالِ البَدَنِيَّةِ وَالأَخْلاَقِ القَلْبِيَّةِ.
“Ahlussunnah wal jama’ah adalah orang-orang yang selalu mengikuti sunnah Nabi SAW. dan praktik para sahabatnya dalam masalah aqidah, amal lahiriyyah dan akhlak hati”.(al-Kawakib al-Lamma’ah: h. 8-9)

Pengertian Aswaja ini telah mereka kaitkan dengan ‘firqah nâjiyah’ (kelompok yang selamat), yang disebutkan oleh Nabi Muhammad di tengah banyaknya kelompok yang dianggap sesat. Kelompok yang selamat itu kemudian disebut Ahlussunnah wal Jama’ah, sebagaimana tercantum dalam hadits tentang perpecahan umat Islam. Hadits ini telah dijadikan dalil tentang paham Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai paham yang menyelematkan umat Islam dari Neraka, dan juga yang dapat menjadi pedoman pengertian substantif paham Ahlussunnah wal Jama’ah.
Secara historis, para imam Ahlussunnah wal Jama’ah di bidang akidah atau kalam telah ada sejak zaman sahabat Nabi SAW (sebelum Mu’tazilah ada). Imam Ahlussunnah wal Jama’ah di zaman itu adalah Ali ibn Abi Thalib, yang berjasa membendung pendapat Khawarij tentang al-wa’d wa al-wa’îd (janji dan ancaman) dan membendung pendapat Qadariyah tentang kehendak Tuhan (masyî’ah) dan daya manusia (istithâ’ah) serta kebebasan berkehendak dan kebebasan berbuat. Selain Ali Ibn Abi Thalib, ada juga Abdullah ibn Amr, yang menolak pendapat kebebasan berkehendak manusia dari Ma’bad al-Juhani.
Di masa tabi’in, muncul beberapa imam yang mengemban misi Ahlussunnah wal Jama’ah, seperti Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz yang menulis ‘Risâlah Balîghah fî al-Radd ‘ala al-Qadariyyah’, Zayd ibn Ali Zayn al-‘Abidin, Hasan al-Bashri, al-Sya’bi dan al-Zuhri. Sesudah generasi ini muncul seorang imam, Ja’far ibn Muhammad al-Shadiq. Dari para fuqaha (ahli hukum Islam) dan imam mazhab fiqh, juga ada para imam ilmu kalam Ahlussunnah wal Jama’ah, seperti Abu Hanifah dan Imam Syafi’i. Abu Hanifah berhasil menyusun sebuah karya untuk meng-counter paham Qadariyah berjudul ‘Al-Fiqh al-Akbar’, sedangkan al-Syafi’i meng-counter-nya melalui dua kitab ‘Fî Tashhîh al-Nubuwwah wa al-Radd ‘ala al-Barâhimah’, dan ‘Al-Radd ‘ala al-Ahwâ’.
Setelah periode Imam Syafi’i, ada beberapa muridnya yang berhasil menyusun paham akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, di antaranya adalah Abu al-‘Abbas ibn Suraij. Generasi imam dalam kalam Ahlussunnah wal Jama’ah sesudah itu diwakili oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari yang populer disebut sebagai salah seorang penyelamat akidah keimanan, lantaran keberhasilannya membendung paham Mu’tazilah.
Dari mata rantai data di atas, yang sekaligus sebagai dalil historis, dapat dikatakan bahwa akidah Ahlussunnah wal Jama’ah secara substantif telah ada sejak zaman sahabat. Artinya, paham akidah Ahlussunnah wal Jama’ah itu tidak sepenuhnya akidah bawaan Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari yang berbeda dengan akidah Islam. Apa yang dilakukan oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah menyusun doktrin paham akidah Ahlussunnah wal Jama’ah secara sistematis, sehingga menjadi pedoman atau mazhab umat Islam. Sesuai dengan kehadirannya sebagai reaksi terhadap munculnya paham-paham yang ada pada zaman itu.

Bermazhab fiqh
Bermadzhab artinya adalah mengikuti salah satu madzhab. bermadzhab dalam kerangka keagamaan warga nahdiyin merupakan keniscayaan. Sebab bagi NU beragama harus berdasar pada al Quran dan al Hadits, dan tidak sembarangan orang dapat mengistinbath hukum dan juga tidak semua mazhab boleh diikuti. Orang NU biasanya sangat toleran dengan orang-orang yang tidak menganut madzhab. Kyai-kyai NU seringan menyatakan, “itu urusan kamu, dan ini adalah urusan kami ” dalam rangka menghargai perbedaan pendapat, dan jangan sampai umat Islam terpecah belah karena berbeda dalam melakukan ritual syari’ah.
Keputusan Musyawarah Nasional Alim-Ulama tahun 1412 H./1992 M di Bandar Lampung tentang "Sistem Pengambilan Keputusan Hukum Islam dalam Bahtsul Masail di Lingkungan Nahdlatul Ulama" yang kemudian disempurnakan dan menjadi keputusan Muktamar XXXI NU tahun 1425 H./2004 M di Boyolali, Jawa Tengah memutuskan, bahwa bahtsul masail di lingkungan NU dibuat dalam kerangka bermazhab kepada salah satu mazhab empat yang disepakati dan mengutamakan bermazhab secara qauli.
Oleh karena itu, prosedur penjawaban masalah disusun dalam urutan sebagai berikut: 1). Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dari kutubul mazahib al arba’ah dan di sana terdapat hanya satu qaul/wajah dari kutubul mazahib al arba’ah, maka dipakailah qaul/wajah sebagaimana diterangkan dalam ibarat tersebut; 2).Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan di sana terdapat lebih dari satu qaul/wajah dari kutubul mazahib al arba’ah, maka dilakukan taqrir jama’iy untuk memilih satu qaul/wajah; 3). Dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah dari kutubul mazahib al arba’ah sama sekali yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhaqul masail bi nazhairiha secara jama’iy oleh para ahlinya; 4). Dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka bisa dilakukan istinbath jama’iy dengan prosedur bermazhab secara manhaji (metodologi) oleh para ahlinya.
Keputusan tersebut diperjelas melalui keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama tahu 2006 di Surabaya, bahwa yang dimaksud Taqrir Jama’iy adalah upaya kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu di antara beberapa pendapat. Oleh karenanya, prosedur Taqriri Jama’iy adalah dengan cara: a. Mengidentifikasi pendapat-pendpat ulama tentang suatu masalah yang dibahas; b. Memilih pendapat yang unggul dengan kriteria sebagai berikut; c.Pendapat yang paling kuat dalilnya; d. Pendapat yang paling mashlahat (ashlah); e. Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama (jumhur); f. Pendapat ulama’ yang paling ‘alim; g. Pendapat ulama’ yang paling wara’; h.Memperhatikan ketentuan dari masing-masing mazhab atas pendapat yang diunggulkan di kalangan mereka.
Dalam mazhab Syafi’i: a. Pendapat Syaikhani (Nawawi, dan Rafi’i) menjadi suatu keniscayaan yang harus diambil jika sesuai dengan konteks permasalahannya, tetapi jika tidak sesuai dengan konteknya maka dapat dipakai ulama lain dalam lingkup mazhab syafi’i yang lebih sesuai; b. Untuk mengukur kepandaian seorang ulama selain Syaikhani dapat dilakukan dengan menggunakan persaksian ulama-ulama yang hidup semasa atau sesudahnya (murid-murtidnya) dan atau bisa juga dilakukan dengan melihat karya-karyanya dilihat dari segi metodologi dan pemikiran yang tertuang di dalamnya.
Yang dimaksud Ilhaq adalah menyamakan hukum suatu kasus dengan kasus yang telah ada jawabannya dalam kitab (menyamakan suatu kasus dengan kasus lain yang sudah ada hukumnya dalam kitab). Adapun Prosedurnya adalah 1. Memahami secara benar tentang suatu kasus (tashawwur al masalah) yang akan dimulhaqkan (mulhaq). 2. Mencari padanannya yang ada di dalam kitab yang akan diilhaqi (mulhaq bih) atas dasar persamaan di antara keduanya (wajhul ilhaq) . dan 3. Menetapkan hukum mulhaq seperti hukum mulhaq bih.
Adapun yang dimaksud Istinbath Jama’i adalah upaya secara kolektif untuk mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya dengan menggunakan qawaid ushuliyah. Oleh karenanya prosedur istinbath jama’iy dilakukan dengan cara: a. Memahami secara benar tentang suatu kasus (tashawwur al masalah) yang akan ditetapkan hukumnya. b. Mencari dalil yang akan dijadikan dasar penetapan hukum (istidlal). c. Menerapkan dalil terhadap masalah dengan kayfiyah al-istidlal (metode pengambilan hukum). d. Menetapkan hukum atas masalah yang dibahas.
Dalam melakukat taklid Qauli, ulama NU telah menetapkan kitab-kitab yang dapat dijadikan maraji’ dalam memutuskan masalah di lingkungan warga nahdliyin. Orang NU lebih suka menyebut ”kitab” dari pada buku meskipun kata kitab berasal dari bahasa arab artinya buku. Sebab kalau dibilang buku, nantinya sama saja dengan buku-buku yang beredar, yakni semua disiplin ilmu. Padahal kitab itu sangat erat hubungannya dengan pelajaran keagamaan/keislaman. Dalam keputusan Munas Ali Ulama NU di Surabaya tahun 2006 menetepkan tentang kitab-kitab mu’tabarah yang dapat dijadikan referensi dalam bahtsul masail.
Yang dimaksud dengan Al-Kutub Al-Mu’tabarah adalah kitab-kitab dari al-madzhab al-arba’ah (Hanafi, Maliki, syafi’i dan Hambali) dan kitab-kitab lain yang memenuhi kriteria fikrah nahdliyah. Adapun kriteri kemuktabaran suatu kitab didasarkan atas: 1.Penulis (muallif)-nya adalah kalangan Sunni, Alim dan memiliki sifat Wara’. 2. Isi kitab, jika pendapatnya sendiri tolok ukurnya adalah argumentasi dan manhaj yang digunakan, jika berupa kutipan maka tolok ukurnya adalah shihhatun naql (validitas kutipan) 3. Pengakuan dari komunitas mazhabnya
Jika orang NU menetapkan untuk bermadzhab itu bukan berarti menutup diri untuk berijtihad. Akan tetapi hal ini menunjukkan bahwa NU tidak mempermudah terhadap persyaratan ijtihad agar tidak mengecilkan dan meremehkan hukum Islam. Orang NU sangat hati-hat dalam mengambil keputusan, terutama yang berkenaan dengan keputusan hukum-hukum agama. Mereka tidak mau sembarangan hanya dengan mengunggulkan logika semata, namun disamping dengan pertimbangan akal, harus sesuai dengan al Quran dan al Hadits yang digariskan oleh para ulama terdahulu yang mumpuni.

Thariqah Mu’tabarah
Kata thariqoh artinya jalan dan muktabaroh artinya yang diakui, sanadnya muttashil (bersambung) sampai Rasulullah saw. Jadi, Thariqoh Muktabaroh ialah jalan yang diakui/ disahkan oleh para ulama’ NU. Jumlahnya puluhan, dan memiliki tata cara amaliyah tersendiri. Mereka yang disahkan Muktamar Thariqoh itulah yang sah dan jelas sanadnya serta benar bersumber dari Rasulullah saw. Sedangkan thariqoh lainnya yang tidak disahkan muktamar ahli thariqoh, orang-orang NU meragukan keabsahannya. Bagi ulama NU thariqoh yang sanadnya diyakini bersambung kepada Rasulullah saw adalah thoriqoh Imam al Junaid al Baghdadi (w.297H.) dan thariqoh Abu Hamid al Ghazali (450-505 H./1058-1111 M.).
Dalam hal ini orang NU dibebaskan, boleh ikut boleh tidak ikut thariqoh Bagi warga nahdlyin yang ikut, silakan mengamalkan ajaran thariqohnya masing-masing. Kemudian semuanya sepakat membentuk organisasi at-Thariqoh An-Nahdiyah. Mungkin di organisasi lain tidak ada ajaran thareqoh, kalaupun ada tidak sebanyak di kalangan warga nahdliyin. karena orang NU suka amaliyah yang penuh dengan puji-pujian kepada Allah SWT dan pada Nabi Muhammad saw. Mereka mengikuti tarekat itu berdasar pada hadits Nabi saw:
لاَتَقُوْمُ السَّاعَةُ وَعَلىَ وَجْهِ الأَرَْضِ مَنْ يَقُوُْلُ "الله"ُ
“hari kiamat tidak akan datang selama di muka bumi ini masih ada seseorang yang menyebu nama Alah” (HR Ahmad, Mslim dan tirmidzi )

`Berdasar pada kerangka pikir fikrah nahdliyah, maka warga mahdliyin dapat dikenali dalam segala pola pikir, tindakan dan amaliyahnya melelui bererapa ciri. Diantaranya adalah.
 1. Fikrah tawassuthiyyah (pola pikir moderat), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa bersikap tawazun (seimbang ) dan i’tidal (moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan. Nahdlatul Ulama tidak tafrith atau ifrath. 
2. Fikrah tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya Nahdlatul Ulama dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun aqidah, cara pikir, dan budayanya berbeda.
 3. Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa mengupayakan perbaikan menuju ke arah yang lebih baik (al-ishlah ila ma huwa al-ashlah). 4. Fikrah Tathowwuriyah (pola pikir dinamis), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan. 5. Fikrah Manhajiyah (pola pikir metodologis), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh Nahdlatul Ulama.


4 Sumber Hukum dalam Aswaja

4 Sumber Hukum dalam Aswaja

Di dalam menentukan hukum fiqih, madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) bersumber kepada empat pokok; Al-Qur’an, Hadits/as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Secara singkat, paparannya sebagai berikut;

Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan hukum. Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk kepada ummat manusia dan diwajibkan untuk berpegangan kepada Al-Qur’an. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 2; Al-Maidah Ayat 44-45, 47 :

ذلِكَ اْلكِتَبَ لاَرَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ
Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”. (Al-Baqarah; 2)

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلئِكَ هُمُ اْلكفِرُوْنَ
Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah golongan orang-orang kafir”.
Tentu dalam hal ini yang bersangkutan dengan aqidah, lalu;

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلئِكَ هُمُ الظّلِمُوْنَ
Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang yang dhalim”.
Dalam hal ini urusan yang berkenaan dengan hak-hak sesama manusia

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلئِكَ هُمُ اْلفسِقُوْن َ
Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah golongan orang-orang fasik”.
Dalam hal ini yang berkenaan dengan ibadat dan larangan-larangan Allah.

Al-Hadits/Sunnah
Sumber kedua dalam menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah ٍSAW. Karena Rasulullah yang berhak menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an, maka As-Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 44 dan al-Hasyr ayat 7, sebagai berikut;

وَاَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الذِكْرَ لِتُبَيِنَ لِلنَّاسِ مَانُزِلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan”. (An-Nahl : 44)

وَمَاءَاتَكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَانَهكُمْ عَنْهُ فَانْتَهَوْاوَاتَّقُوْااللهَ, اِنَّ اللهَ شَدِيْدُاْلعِقَابِ
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras sikapnya”. (Al-Hasyr: 7)
Kedua ayat tersebut di atas jelas bahwa Hadits atau Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an dalam menentukan hukum.

Al-Ijma’
Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW seluruh persoalan hukum kembali kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan kepada para sahabatnya dan para Mujtahid.
Kemudian ijma’ ada 2 macam :

1. Ijma’ Bayani (
الاجماع البياني ) ialah apabila semua Mujtahid mengeluarkan pendapatnya baik berbentuk perkataan maupun tulisan yang menunjukan kesepakatannya.

2. Ijma’ Sukuti (
الاجماع السكوتي) ialah apabila sebagian Mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan sebagian yang lain diam, sedang diamnya menunjukan setuju, bukan karena takut atau malu.
Dalam ijma’ sukuti ini Ulama’ masih berselisih faham untuk diikuti, karena setuju dengan sikap diam tidak dapat dipastikan. Adapun ijma’ bayani telah disepakati suatu hukum, wajib bagi ummat Islam untuk mengikuti dan menta’ati.
Karena para Ulama’ Mujtahid itu termasuk orang-orang yang lebih mengerti dalam maksud yang dikandung oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits, dan mereka itulah yang disebut Ulil Amri Minkum (اولىالامر منكم  ) Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat : 59

ياأَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْاأَطِيْعُوْااللهَ وَأَطِيْعُوْاالرَّسُوْلَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang yang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu”.
Dan para Sahabat pernah melaksanakan ijma’ apabila terjadi suatu masalah yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah S.A.W. Pada zaman sahabat Abu Bakar dan sahabat Umar r.a jika mereka sudah sepakat maka wajib diikuti oleh seluruh ummat Islam. Inilah beberapa Hadits yang memperkuat Ijma’ sebagai sumber hokum, seperti disebut dalam Sunan Termidzi Juz IV hal 466.

اِنَّ اللهَ لاَ يَجْمَعُ اُمَّتىِ عَلىَ ضَلاَ لَةٍ, وَيَدُاللهِ مَعَ اْلَجَماعَةِ
Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku atas kesesatan dan perlindungan Allah beserta orang banyak.
Selanjutnya, dalam kitab Faidlul Qadir Juz 2 hal 431

اِنَّ اُمَّتىِ لاَتَجْتَمِعُ عَلىَ ضَلاَ لَةٍ فَاءِذَارَأَيْتُمُ اخْتِلاَ فًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِاْ لأَعْظَمِ.
 “Sesungguhnya ummatku tidak berkumpul atas kesesatan maka apabila engkau melihat perselisihan, maka hendaknya engkau berpihak kepada golongan yang terbanyak”.

Al-Qiyas
Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata itu berasal dari kata Qasa (قا س  ). Yang disebut Qiyas ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya sebab yang antara keduanya. Rukun Qiyas ada 4 macam: al-ashlu, al-far’u, al-hukmu dan as-sabab. Contoh penggunaan qiyas, misalnya gandum, seperti disebutkan dalam suatu hadits sebagai yang pokok (al-ashlu)-nya, lalu al-far’u-nya adalah beras (tidak tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits), al-hukmu, atau hukum gandum itu wajib zakatnya, as-sabab atau alasan hukumnya karena makanan pokok.
Dengan demikian, hasil gandum itu wajib dikeluarkan zakatnya, sesuai dengan hadits Nabi, dan begitupun dengan beras, wajib dikeluarkan zakat. Meskipun, dalam hadits tidak dicantumkan nama beras. Tetapi, karena beras dan gandum itu kedua-duanya sebagai makanan pokok. Di sinilah aspek qiyas menjadi sumber hukum dalam syareat Islam. Dalam Al-Qur’an Allah S.WT. berfirman :

فَاعْتَبِرُوْا يأُوْلِى اْلأَيْصَارِ
Ambilah ibarat (pelajaran dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (Al-Hasyr : 2)

عَنْ مُعَاذٍ قَالَ : لَمَا بَعَثَهُ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم اِلىَ اْليَمَنِى قَالَ: كَيْفَ تَقْضِى اِذَا عَرَضَ قَضَاءٌ ؟ قَالَ اَقْضِى بِكَتَابِ اللهِ قَالَ فَاءِنْ لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ, قَالَ فَاءِنْ لَمْ تَجِدْ فِى سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلاَ فىِ كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ اَجْتَهِدُ بِرَأْيِى وَلاَ الُوْ قَالَ فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم صَدْرَهُ وَقَالَ اْلحَمْدُ للهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لِمَا يَرْضَاهُ رَسُوْلُ اللهِ. رواه أحمد وابو داود والترمذى.
Dari sahabat Mu’adz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus ke Yaman, Rasulullah bersabda bagaimana engkau menentukan apabila tampak kepadamu suatu ketentuan? Mu’adz menjawab; saya akan menentukan hukum dengan kitab Allah? Mu’adz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah s.aw. kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak kembali; Mu’adz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya, kemudian Mu’adz berkata; Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah meridlai-Nya.
Kemudian Al-Imam Syafi’i memperkuat pula tentang qiyas dengan firman Allah S.W.T dalam Al-Qur’an :

ياأَيُّهَااَّلذِيْنَ ءَ امَنُوْا لاَتَقْتُلُوْاا لصَّيْدَوَاَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَاعَدْلٍ مِنْكُمْ
 “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram, barang siapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu”. (Al-Maidah: 95).
Sebagaimana madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah lebih mendahulukan dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits dari pada akal. Maka dari itu madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah mempergunakan Ijma’ dan Qiyas kalau tidak mendapatkan dalil nash yang shareh (jelas) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Muadhom
                                                      PC. IPNU. Kabupaten Demak 2013/2014