ASY’ARIYAH - MATURIDIYAH
Makalah disusun guna
memenuhi tugas
mata kuliah Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Drs. Amir
Ghufron, M. Ag.
Disusun oleh :
-
MIFTAHUS
SURUR
-
MIN
KHOIRIYAH
-
MISBAHUL
MUNIR
-
MUADHOM
-
MUALIFAH
-
M.
MASYHAR
![]() |
INSTITUT ISLAM NAHDLATUL
ULAMA’
(INISNU) JEPARA
TAHUN 2010
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puja dan puji syukur selalu tercurahkan ke hadirat Allah SWT, karena taufiq dan hidayah-Nya kami diberi kekuatan dan dimudahkan jalan kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Sholawat beserta salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada beliau junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarganya dan para sahabatnya. Dan semoga kita menjadi ummat yang kelak mendapat syafa’at fiddunya hattal akhirat.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam dengan dosen pengampu Drs. Amir Ghufron, M. Ag. Karena kami hanya manusia biasa, tentu banyak kekurangan dan kekhilafan dalam penulisan makalah ini. Dengan itu harapan kami, pembaca mau menanggapi dan memberi saran untuk kesempurnaan tugas-tugas seterusnya.
Besar harapan kami semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin Ya Robbal ‘Alamin..
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jepara, Juni 2010
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………. i
DAFTAR ISI ……………………………………………. ii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………. 1
BAB II AL ASY’ARIYAH ……………………………………. 2
A. Sejarah Lahirnya Asy’ariyah ……………………………………. 2
B. Al Asy’ari dan Ajaran-ajarannya ……………………………………. 3
C. Madzhab Asy’ariyah Sepeninggal Al Asy’ari ……………………. 5
1. Abu Bakar Al Baqillani ……………………………………. 5
2. Al Juwaini ……………………………………. 5
3. Al Gozali ……………………………………. 6
BAB III AL MATURIDIYAH ……………………………………. 8
A. Sejarah Lahirnya Al Maturidiyah ……………………………………. 8
B. Al Maturidi dan Pokok-pokok ajarannya ……………………. 9
C. Golongan Maturidiyah dan Tokoh-tokohnya ……………………. 10
1. Golongan Samarkand ……………………………………. 10
a. Al Maturidi ……………………………………. 10
b. Al Bayadi ……………………………………. 11
2. Golongan Bukhara ……………………………………. 11
BAB IV KESIMPULAN ……………………………………. 12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Karena banyaknya kekerasan terhadap
fuqoha’ dan ahli hadits yang dilakukan Mu’tazilah, juga karena banyaknya
ketidak cocokan ajaran-ajaran aliran Mu’tazilah, muncul aliran baru yaitu
Asy’ariyah dan Maturidiyah. Kedua aliran ini sangat menentang ajaran Mu’tazilah
tentang Ketuhanan, Sifat-sifat Allah, Perbuatan manusia, Pelaku dosa besar,
Keadilan Tuhan dan lain-lain yang sangat bersandar pada kekuatan rasio, sedang
kedua aliran ini lebih bersandar pada dalil nas (AlQur’an dan Hadits).
Asy’ariyah dan Maturidiyah dengan
alirannya sanga eksis sampai sekarang, karena kedua aliran ini mempunyai satu
tujuan yang sama dan saling menyempurnakan yang ajarannya digantungkan pada
dalil nas (AlQur’an dan Hadits) dijadikan qiblat golongan Aswaja, yang
mempunyai arti “Masyarakat yang memegang teguh ajaran Nabi dan pemegang tradisi
Nabi dan kesatuan ummat”.
B.
Pokok Bahasan
1.
Asy’ariyah
§ Sejarah lahirnya
§ Pokok ajarannya
§ Tokoh-tokohnya
2.
Maturidiyah
§ Sejarah lahirnya
§ Pokok ajarannya
§ Tokoh-tokohnya
BAB II
AL – ASY’ARIYAH
A.
Sejarah Lahirnya Asy’ariyah
Pada abad III H, sebagai
kebijaksanaan Khalifah Al Ma’mun yang mewajibkan Mu’tazilah memperkenalkan
sebuah tes tentang keimanan, timbullah suatu reaksi yang kuat terhadap
“rasionalis” kaum Mu’tazilah.[1]
Pengikut-pengikut aliran hadits dan yuris prodensi (Fuqoha’) khususnya pengikut
Imam Ahmad ibnu Hambal dengan keras melawan semua bukti-bukti rasional tentang
ajaran keimanan Mu’tazilah.
Penentang ulama ahli hadits dan
fuqoha’ terhadap ahli (ro’yi) Mu’tazilah ada yang bersembunyi dalam
keyakinannya dan ada yang menentang keras dengan keberanian dalam masa
pemerintahan Al Ma’mun yang berkeyakinan Mu’tazilah memaksakan ulama-ulama lain
sepaham dengan dia. Seperti “i’tikad bahwa Qur’an itu makhluk, atau hadits
tidak boleh meyakini qodim sama dengan dzat Tuhan”. Dan itu sangat ditentang
Ibnu Hambal yang mengatakan : “Kalamullah itu Qodim”. [2]
Untunglah pada akhir abad III H,
lahir dua orang yang dapat menyelesaikan pertengkaran hebat yaitu Abul Hasan Al
Asy’ari, lahir di Basrah tahun 260 H / 330 H. dan Abu Masyhur al Maturidi, yang
lahir di Samarkandi. Al Asy’ari orang yang mengikuti paham madzhab Mu’tazilah
dan pernah belajar ilmu kalam pada Abu Ali al Jaba’i, tapi kemudian pada umur
40 tahun, ia berbalik melawan ajaran-ajaran Mu’tazilah dan kembali pada ajaran
AlQur’an murni dengan beberapa sebab.
1.
Perpisahan
dengan gurunya karena terjadi dialog dengan gurunya tentang “keadilan Tuhan”.
2.
Al Asy’ari
pernah bermimpi melihat Rasulullah sebanyak tiga kali pada bulan Romadlon.
3.
Diriwayatkan
sebelum Al Asy’ari mengambil keputusan keluar dari Mu’tazilah, ia mengurung
diri di rumahnya selama 15 hari.
4.
Karena
rasa ketidak percayaannya lagi terhadap kemampuan akal. [3]
Sehingga pada hari Jum’at ia keluar menuju masjid jamik
di Basrah naik ke atas mimbar lalu berkata, “Wahai manusia, barang siapa di antara
kamu yang kenal saya, ia sudah mengenal saya. Tetapi barang siapa tidak
mengenal saya, saya adalah Abul Hasan Al Asy’ari yang dahulu mempertahankan
bahwa AlQur’an itu makhluk baru, dan Allah tidak melihat dengan mata, dan
perbuatan jahat itu saya sendiri yang mengerjakannya bukan dengan qodlo’ dan
qodar. Oh saya menyesal saya menjadi Mu’tazilah. Saya meninggalkan aliran ini
dan saya berjanji menolak aliran ini dan menghapus pertumbuhan dan kejahatan
mereka. [4]
B.
Al Asy’ari dan Ajaran-ajarannya
1.
Sifat-sifat
Allah
Menurut ajaran Asy’ariyah, Allah
mempunyai sifat-sifat sebagaimana disebut dalam AlQur’an, seperti Allah
mengetahui dengan ilmu, berkuasa dengan qodlo’ qodar. Artinya bahwa segala yang
terjadi di muka bumi, entah kebaikan dan keburukan adalah karena qodlo’ dan
qodar Allah.
Firman Allah :
@è%
Hw
à7Î=øBr& ÓŤøÿuZÏ9 $YèøÿtR Ÿwur #…ŽŸÑ
žwÎ) $tB uä!$x© ª!$#
“Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik
kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang
dikehendaki Allah.”
( Q.S. Al A’raf : 188 )
Dan Al Asy’ari mengakui tentang
adanya Allah, Malaikat, para Rasul. Allah Maha Esa tempat tegrantung segala
sesuatu, tidak ada Tuhan selain Dia, tidak butuh pendamping, dan tidak beranak,
maha melihat dan mengetahui segalanya. [5]
2.
Perbuatan
Manusia
Perbuatan manusia menurut Al
Asy’ariyah adalah diciptakan Tuhan, bukan diciptakan manusia sendiri. Untuk
mewujudkan suatu perbuatan manusia membutuhkan dua daya yaitu daya Tuhan dan daya manusia. Hubungan antara perbuatan manusia dengan kehendak
Tuhan yang mutlak dijelaskan melalui teori kasab
yakni berbarengnya kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Al Kasb mengandung arti keaktifan, karena itu manusia
bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. [6]
3.
Pelaku
Dosa Besar
Menurut Al Asy’ari, seorang muslim
yang melakukan dosa besar dan meninggal dunia sebelum sempat bertaubat, tetap
dihukumi mukmin, tidak kafir dan tidak pula di antara mukmin dan kafir. Dan di
akhirat ada beberapa kemungkinan :
§ Ia mendapat ampunan dari allah dengan rahmatNya
sehingga dimasukkan dalam surga.
§ Ia mendapat syafa’at dari Nabi Muhammad SAW.
§ Allah memberi hukuman kepadanya dengan
dimasukkan ke dalam neraka sesuai dengan dosa yang dilakukannya kemudian dimasukkan
ke dalam surga.
4.
Keadilan
Tuhan
Pendapat Al Asy’ari bahwa Tuhan
tidak punya kewajiban apapun, Tuhan tidak wajib memasukkan manusia ke dalam
surga maupun neraka. Semua itu merupakan kehendak mutlak Tuhan, sebab Tuhan
yang berkuasa dan segala-galanya milik Allah. Jika Tuhan memasukkan seluruh
manusia ke neraka, bukan berarti Ia zalim. Tuhan adalah penguasa mutlak dan
tidak ada yang lebih kuasa. Ia dapat dan boleh melakukan apa saja yang
dikehendakiNya.
Ini adalah pokok-pokok Asy’ari. Untuk mengetahui lebih
luas dapat diperoleh dalam buku-buku karyanya, diantaranya Maqolatul Islamiyin wa Ikhtilaful Mushollin, Al Ibanah, Al Luma,
dan lain-lain. [7]
C.
Madzhab Asy’ariyah Sepeninggal Al Asy’ari
1.
Abu Bakar
al Baqillani ( 338 – 403 H )
Abu Bakar al Baqillani adalah ulama
besar. Dia dilahirkan di Basrah pada tahun 338 H, dan wafat di Baghdad pada tahun 403 H.
Apabila alAsy’ari pengikut madzhab Syafi’i, maka alBaqillani pengikut madzhab
Maliki. Sebagai ulama besar yang menyaring berbagai kajian yang pernah
dilakukan Al Asy’ari, ia berbicara tentang premise-premisi dalil rasional
tentang tauhid dan membicarakan jauhar-fard (atom), aradh (aksidom) dan
cara-cara pembuktian (istidlal).
Menurut al Baqillani, ala mini
merupakan himpunan dari atom-atom yakni himpunan bagian-bagian yang tidak dapat
dibagi lagi. Benda-benda materi adalah atom. Atom itu baru, apabila dibubuhi
Tuhan dengan ardh. Atom dan ardh itu diciptakan dan dimusnahkan oleh Tuhan.
Atom dan benda materi tidak mungkin berwujud lebih satu. Waktu (detik) perubahan
ardh itu tidak sendirinya tetapi karena kehendak Tuhan. Tuhan boleh saja
merubah sunnah yang menguasai jalannya alam. Di sinilah terjadi mukjizat yang
diartikan sebagai penyimpangan dari sunnatullah. Pengingkaran adanya hukum
kausalitas ini. [8]
2.
Al Juwaini
Al Juwaini adalah tokoh Al
Asy’ariyah yang pernah mengajar dan menetap di Makah dan Madinah. Lahir di
Naisabur pada tahun 419 H, dan meninggal pada tahun 478 H. dan dia mempunyai
sebutan “Imam Al Haromain”. Ia adalah teologi Islam dalam bidang fiqh yang ikut
madzhab Syafi’i.
Al Juwaini tak sepenuhnya mengkaji
Asy’ariyah, karena Tuhan menurutnya adalah wujud (materi), maka ia perlu
mentakwilkan ayat-ayat tasybih seperti yang dilakukan kaum Mu’tazilah. Imam
Juwaini berpendapat bahwa yang dimaksud tangan
Tuhan diartikan kekuasaan, mata Tuhan
diartikan penglihatan Tuhan. Wajah Tuhan
diartikan wujud Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi. [9] Lebih lanjut al Juwaini berpendapat bahwa
daya yang ada pada manusia itu punya efek. Efeknya itu serupa dengan efek yang
terdapat antara sebab dan akibat. Terwujudnya suatu perbuatan tergantung pula
pada sebab lain, dan wujud sebab ini tergantung pada sebab lain lagi dan
begitulah seterusnya, sehingga rangkaian sebab itu berakhir pada sebab segala
sebab yakni kepada Tuhan. Paham seperti ini dinilai oleh Ahmad Amin sebagai
kembali pada ajaran Mu’tazilah (hukum kausalitas) melalui jalan yang
berlekok-lekok.
3.
Al Gozali
Imam al Gozali adalah tokoh
Asy’ariyah terbesar pengaruhnya di dunia Islam. Nama lengkapnya Abu Hamid
Muhammad Ibnu Muhammad al Gozali, lahir di kota
Thus pada th 450 H. dan meninggal di sana
pada 505 H. Al Gozali tampil setelah al Baqillani. Pada hakikatnya al Gozali
tidak mengikuti Al Asy’ari dan al Maturidi. Ia bahkan melakukan pengkajian
secara liberal dan intensif tidak seperti pengkajian orang-orang yang
bertaklid. Hanya saja argumennya sependapat dengan Asy’ariyah dalam berbagai
kesimpulan yang mereka hasilkan. Tetapi ia juga berbeda pendapat dengan mereka
dalam berbagai hal yang mereka pandang wajib. Itulah sebabnya banyak di antara
pendukung Asy’ariyah menuduhnya kafir dan penganut paham zindiq. [10]
Dari banyaknya karangan al Gozali
yang paling menonjol adalah “Ihya’ Ulumuddin”, yakni di dalamnya terkandung
bagian terbesar dari pandangannya dan dapat dirasakan usahanya memadukan
tasawuf yang moderat (ahlaki) dengan teologi, fiqh dan etika. Al Gozali juga
mengemukakan sepuluh dalil tentang perbuatan Tuhan, yang disimpulkan sebagai
berikut :
1.
Segala
sesuatu yang baru termasuk semua makhluk dan perbuatannya diciptakan Tuhan.
DIAlah yang menciptakan kemampuan dan geraknya.
2.
Gerakan
dan perbuatan manusia sebagai perbuatan Tuhan, bukan tindakan manusia yang
disebut “Kasab” atau usaha.
3.
Perbuatan
manusia sebagai usahanya tidaklah terlepas dari kehendak Tuhan. Dari Tuhanlah
asal segala yang baik dan yang buruk, yang berguna dan tidak, Islam dan kufur,
taat dan durhaka.
4.
Tuhan
tidaklah wajib menciptakan alam dan menurunkan agama yang di dalamnya
mengandung kemaslahatan manusia, sehingga tidak mungkin ia jadi sasaran
kewajiban dan keharusan. Tuhan yang menyuruh melarang dan yang mewajibkan.
5.
Tuhan
sebenarnya mampu mewajibkan manusia untuk melakukan kewajibannya yang ia
sendiri tidak akan mampu.
6.
Tuhan
dapat menyiksa hambaNya yang tidak berdosa, karena Dia yang bertindak dalam
kerajaanNya.
7.
Tuhan
dapat apa yang dikehendaki terhadap hambaNya, sehingga Ia tidak wajib menjamin
kemaslahatan yang lebih baik terhadap hambaNya.
8.
Mengetahui
dan mentaati Tuhan adalah wajib atas manusia berdasarkan syariat (agama), bukan
dasar rasio (akal).
9.
Tuhan
mengutus para Nabi ke hadapan manusia bukanlah hal yang tidak mustahil, karena
akal saja tidak mampu memperlihatkan jenis-jenis amal yang bermanfaat di
akhirat.
10.
Tuhan
mengutus Nabi Muhammad sebagai Rasul penutup dan bertugas untuk menghapus
agama-agama sebelumnya.
BAB III
AL – MATURIDIYAH
A.
Sejarah Lahirnya Al Maturidiyah
Pada masa Mu’tazilah mendapat
kemarahan masyarakat sebagai balasan perilakunya terhadap para fuqoha’ dan
muhadditsin yakni pada sepertiga pertama abad III H, dan bersamaan lahrnya
Asy’ariyah lahir pula aliran Maturidiyah yang dinisbatkan pada tokohnya yang
bernama Abu Mansur Muhammad ibnu Muhammad ibnu Mahmud al Maturidi. Lahir di
Maturidi, sebuah daerah di Samarkand
dan wafat pada tahun 333 H. ia belajar fiqh Hanafi dan ilmu kalam pada Nasir
ibn Yahya al Balkhi (wafat 268 H.). Maturidi ini mempunyai paham teologi yang
berbeda dari Mu’tazilah dan juga Asy’ariyah. [11]
Negeri Samarkand merupakan tempat
diskusi ilmu fiqh dan ushul fiqh yang berlangsung di antara pendukung Hanafiyah
dan pendukung madzhab Syafi’iyah. Ketika perselisihan antara fuqoha’,
muhadditsin dan Mu’tazilah semakin sengit, diskusi berjalan di bidang ilmu
kalam, ilmu fiqh dan ushul fiqh. Al Maturidi hidup di tengah-tengah perlombaan
yang berlangsung ketat dalam rangka menghasilkan pemikiran dan penalaran. Abu
Mansur al Maturidi dan Abu Hasan al Asy’ari hidup dalam satu masa dan mempunyai
tujuan memberantas pertumbuhan Mu’tazilah, hanya saja al Asy’ari hidup dalam
lingkungan pertumbuhan Mu’tazilah langsung yaitu di Irak dan Basrah. Adapun Abu
Mansur berada di Samarkand
tempat yang jauh dari pusat perselisihan. Kendati begitu keduanya mempunyai
perbedaan dalam pemikiran dan kesimpulan yang dicapai oleh kedua Imam ini.
Karena al Maturidi di dalam metodenya
memberikan otoritas yang besar pada rasio (akal manusia) yang dibarengi
petunjuk syara’, sedang al Asy’ari terikat pada dalil naqli (nas) dan
menguatkannya dengan dalil aqli (nalar). Sehingga salah seorang peneliti nyaris
beranggapan bahwa Asy’ariyah berada dalam suatu garis antara Mu’tazilah dan
kelompok fuqoha’ bersama muhadditsin, sedang Maturidiyah berada dalam garis
antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah. [12]
B.
Al Maturidi dan
Pokok-pokok Ajarannya
1.
Kewajiban
mengetahui Tuhan . akal semata-mata mengetahui Tuhan, namun ia tidak sanggup
sendirinya hukum-hukum taklifi (perintah-perintah Allah) itulah pendapat al
Maturidi bahwa dengan akal manusia mampu mengetahui adanya Tuhan dan mengetahui
kewajibannya untuk mengetahui dan berterima kasih pada Tuhan. Percaya pada
Tuhan dan berterima kasih kepadaNya, sebelum adanya wahyu adalah wajib karena
Tuhan adalah pemberi nikmat terbesar.
2.
Kebaikan
dan keburukan dapat diketahhui dengan akal, artinya akal mengetahui sifat buruk
dalam perbuatan baik dan mengetahui sifat buruk dalam perbuatan buruk.
Pengertian inilah yang menyebabkan akal berpendapat bahwa masih ada perintah
dan larangan.
3.
Hikmah dan
tujuan perbuatan Tuhan.
Perbuatan Tuhan mengandung kebijaksanaan (hikmah) baik
dalam ciptaanNya maupun dalam perintah dan laranganNya. Perbuatan manusia
bukanlah paksaan dari Allah karena itu tidak bisa dikatakan wajib, karena
kewajiban itu mengandung suatu perlawanan dengan irodahNya. [13]
Mengenai tanggapan al Maturidi tentang :
a.
Sifat
Allah
Ketika Asy’ariyah menetapkan bahwa sifat-sifat Allah itu
sesuatu yang di luar dzat dan menetapkan juga adanya qodrat, irodah, hayah,
sama’, basor, mak al Maturidi mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukan sesuatu di
luar dzatNya, bukan pula sifat-sifat yang berdiri pada dzatNya, dan tidak pula
pisah dari dzatNya. Sifat-sifat tersebut tidak mempunyai eksistensi yang
mandiri dari dzat. Sehingga tidak dapat dikatakan bahwa banyaknya sifat-sifat
itu akan membawa banyaknya yang qodim (kekal).
b.
Melihat
Allah
Berdasarkan ayat AlQur’an :
×nqã_ãr 7‹Í´tBöqtƒ îouŽÅÑ$¯R ÇËËÈ
4’n<Î) $pkÍh5u‘
×otÏß$tR ÇËÌÈ
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari
kiamat berseri-seri kepada Tuhannya mereka melihat.”
Berdasarkan firman tersebut, al Maturidi sebagaimana al
Asy’ari menetapkan bahwa Allah dapat dilihat pada hari kiamat, dan pendapat ini
tidak sama dengan apa yang dipaparkan Mu’tazilah. Karena melihat butuh suatu
tempat, sedang Allah tidak bertempat maka kita tidak dapat melihat Allah.
c.
Pelaku
dosa besar
Sesungguhnya kesepakatan ulama, orang mukmin tidak akan
kekal di neraka. Hanya saja pandangan tentang mukmin berbeda-beda. Menurut
Khawarij orang yang melakukan dosa besar dan kecil dianggap kafir. Menurut
Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak diakui sebagai mukmin, sekalipun dia masih
muslim. Kelihatannya Khawarij dan Mu’tazilah memasukkan amal sebagai salah satu
komponen iman. Sedangkan Asy’ariyah dan Maturidiyah mengatakan amal termasuk
salah satu dari komponennya. Oleh karena itu orang yang melakukan dosa besar
tidak keluar dari iman, sekalipun amalnya akan dihisab dan ia akan mendapat
siksa dan siksaan itu berdasarkan besar dan kecilnya dosa yang dilakukannya. [14]
C.
Golongan Maturidiyah
dan Tokoh-tokohnya
1.
Golongan
Samarkand
a.
Al
Maturidi
Imam Maturidi dan Asy’ari terdapat kesamaan pandangan.
Menurut Maturidi, Tuhan mempunyai sifat-sifat. Tuhan mengetahui bukan dengan
dzatNya, melainkan dengan pengetahuanNya. Begitu juga Tuhan berkuasa bukan
dengan dzatNya.
Maturidi menolak paham-paham Mu’tazilah antara lain soal
:
1)
Tidak
sepaham mengenai pendapat Mu’tazilah yang mengatakan AlQur’an itu makhluk
2)
Al Salah
wa Al Aslah
3)
Paham
posisi mengenai kaum Mu’tazilah. [15]
b.
Al Bayadi
Ia adalah tokoh Maturidiyah cabang Samarkand . Seperti halnya pendapat Maturidi,
ia menegaskan bahwa mengetahui Tuhan adalah wajib menurut akal naluri, karena
yang dapat diketahui akal adalah untuk mengetahui kewajiban dan yang menentukan
kewajiban adalah Tuhan. [16]
2.
Golongan
Bukhara
Golongan Bukhara dipimpin Abu al Yurs Muhammad al
Bazdawi. Dia merupakan pengikut Maturidi yang penting dan penerus yang baik
dalam pemikirannya. Nenek al Bazdawi menjadi salah satu murid Maturidi. Dari
orang tuanya, al Bazdawi menerima ajaran-ajaran Maturidi, dan ia mempunyai
seorang murid yaitu Najm al Din Muhammad al Nasafi, dengan karangannya Al
Aqoidul Nasafiyah.
Aliran Maturidiyah al Bazdawi mempunyai pendapat lebih
dekat pada Asy’ariyah. Dan ia tidak selamanya sepaham dengan al Maturidi.
Ajaran-ajaran teologinya banyak dianut oleh sebagian ummat yang bermadzhab
Hanafi.
BAB IV
KESIMPULAN
A.
Asy’ariyah
Sejarah lahirnya Asy’ariyah
dinisbatkan pada Imam Al Asy’ari yang keluar dari penganut Mu’tazilah, yang
menjadi murid Ali al Jubba’i yang menjadi pembesar Mu’tazilah. karena ketidak
cocokan Asy’ari dengan pendapat-pendapat al Jubbai, al Asy’ari mendirikan
teologi Islam sendiri yang dikenal Asy’ariyah.
§ Pokok ajaran-ajarannya
a.
Allah
mempunyai sifat Qodrah, Irodah, Hayat, Sama’, Basor
b.
Segala
perbuatan manusia diciptakan dan diatur oleh Tuhan, tidak dari manusia sendiri
c.
Pelaku
dosa besar disiksa di neraka setimpal dengan dosa yang dilakukannya. Bisa juga
mendapat ampunan Allah dan syfa’at dari Nabi Muhammad SAW.
d.
Mengenai
keadilan Tuhan, Tuhan mempunyai kehendak yang mutlak, karena Tuhan yang
berkuasa dan segala-galanya milik Tuhan.
§ Tokoh-tokoh Asy’ariyah
a.
Al
Baqillani
b.
Al Juwaini
c.
Al Gozali
B.
Maturidiyah
Sejarah lahirnya Maturidiyah sama halnya
sebab yang dijadikan Asy’ariyah keluar dari Mu’tazilah. Hanya saja Asy’ariyah
berada di Basrah yang dekat langsung dengan Mu’tazilah, sedang al Maturidi
berada di Samarkand
yang jauh dari Mu’tazilah.
§ Pokok ajaran Maturidiyah
a.
Akal dapat
digunakan untuk mengetahui Tuhan
b.
Kebaikan
dan keburukan dapat diketahui dengan akal
c.
Hikmah dan
tujuan perbuatan Tuhan bukan merupakan paksaan pada manusia.
§ Tokoh-tokoh Maturidiyah
a.
Golongan
Samarkand
1.
Al
Maturidi
2.
Al Bayadi
b.
Golongan
Bukhara
1.
Al Bazdawi
dan muridnya
2.
Al Nasafi
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
1.
Prof. DR
Seyyed Hossain Nasr, Intelektual Islam,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta , 1996
2.
Drs. H.
Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam,
Pustaka Setia, Bandung ,
1998
3.
Imam
Baihaqi, Kontroversi Aswaja Aula
Perdebatan Reinterprestasi, LKIS, Yogyakarta ,
2000,
4.
Prof. Dr.
Imam Muhammad Abu Zahroh, Aliran Politik
dan Aqidah dalam Islam, Logos Publishing House, Jakarta, 1996, hal : 194
5.
Drs. Amir
Ghufron, M.Ag. Ringkasan Teologi Islam
ASY’ARIYAH - MATURIDIYAH
Makalah disusun guna
memenuhi tugas
mata kuliah Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Drs. Amir
Ghufron, M. Ag.
![]() |
Disusun oleh :
-
MIFTAHUS
SURUR
-
MIN
KHOIRIYAH
-
MISBAHUL
MUNIR
-
MUADHOM
-
MUALIFAH
-
M.
MASYHAR
![]() |
INSTITUT ISLAM NAHDLATUL
ULAMA’
(INISNU) JEPARA
TAHUN 2010
[1] Prof. Dr. Seyyed Hossein Nasr, Intelektual
Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta , 1996,
hal : 10
[2] Drs. H. Muhammad Ahmad, Tauhid
Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung ,
1998, hal : 173
[3] Imam Baihaqi, Kontroversi
Aswaja Aula Perdebatan Reinterprestasi, LKIS, Yogyakarta ,
2000,
hal : 62 - 63
[4] Prof. Dr. Seyyed Hossein Nasr, Intelektual
Islam, hal : 11
[5] Prof. Dr. Imam Muhammad Abu Zahroh, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Logos
Publishing House, Jakarta ,
1996, hal : 194
[6] Drs. H. Muhammad Ahmad, Tauhid
Ilmu Kalam, hal : 180
[7] Drs. H. Muhammad Ahmad, Tauhid
Ilmu Kalam, hal : 181
[8] Drs. Amir Ghufron, M.Ag. Ringkasan
Teologi Islam, hal : 57
[9] Drs. Amir Ghufron, M.Ag. Ringkasan Teologi Islam, hal : 58
[10] Prof. Dr. Imam Muhammad Abu Zahroh, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, hal : 204
[11] Drs. Amir Ghufron, M.Ag. Ringkasan
Teologi Islam, hal : 64
[12] Prof. Dr. Imam Muhammad Abu Zahroh, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, hal : 210
[13] Drs. H. Muhammad Ahmad, Tauhid
Ilmu Kalam, hal : 190
[14] Prof. Dr. Imam Muhammad Abu Zahroh, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, hal : 218
[15] Drs. H. Muhammad Ahmad, Tauhid
Ilmu Kalam, hal : 190
[16] Drs. Amir Ghufron, M.Ag. Ringkasan
Teologi Islam, hal : 67
Tidak ada komentar:
Posting Komentar